Konsepsi yang umum di masyarakat tentang perang adalah hal yang tidak manusiawi, tidak rasional, dan yang menginginkan perang adalah orang yang haus akan darah, haus akan kemenangan, dan haus akan harta yang berlimpah jika memenangkan perang tersebut. Dampak dari perang itu pun tidak dapat dipandang remeh. Mulai dari PTSD (Post-traumatic stress disorder), kehancuran banyak lokasi terjadinya perang, genosida dan pembunuhan secara besar – besaran, serta banyaknya keluarga yang bersedih karna suami atau anaknya terbunuh dalam perang. Akan tetapi, perang juga membawakan dampak positif bagi kehidupan, mulai dari kemajuan teknologi dan alat perang, undang – undang untuk negara yang berperang, seperti larangan untuk melakukan genosida, dan juga prevensi untuk perang selanjutnya.
Akan tetapi, siapa yang menyangka
kalau perang dilakukan dengan tujuan sebagai control populasi dalam suatu
peradaban. Dalam buku ini dijelaskan demikian. Namun sebelum memasuki
pembahasan, mungkin perlu dketahui terlebih dahulu apa tujuan dan latar
belakang untuk suatu peradaban atau negara melaksanakan peperangan. Dalam
sejarah, banyak terjadi perang dengan tujuan untuk menaklukkan dan/atau
memusnahkan suatu kelompok atau organisasi. Seperti dalam sejarah Islam,
Khalifah Abu Bakar memerangi para nabi palsu karna dinilai mencemari Islam
dengan membuat – buat ajaran Islam sendiri, bukan dari ajaran Nabi Muhammad.
Lalu Khalifah Umar melaksanakan perang untuk menyebarkan ajaran Islam ke banyak
daerah di Timur Tengah. Semakin majunya suatu peradaban, perang menjadi semakin
kompleks. Seperti yang terjadi pada bangsa Eropa pada akhir abad ke – 19 dan
juga awal abad ke – 20. Hal tersebut seperti konflik di Afrika, yang bukan
hanya demi kekayaan alam dan koloninya, tetapi juga demi relasi antas bangsa
Eropa yang menjadi tujuan perang tersebut. Dengan adanya relasi ini, suatu
negara akan memiliki sebagian kekayaan dari negara yang dilakukannya aliansi
tersebut. Akan tetapi, aliansi dapat juga menjadi masalah baru, seperti pada
Perang Dunia 1, dimana pembunuhan Archduke Franz Ferdinand membuat konflik
bukan hanya Serbia dan Austro-Hungaria, tetapi juga negara yang berkerjasama
dengan mereka, seperti Inggris, Prancis, Rusia, dan juga Jerman. Negara
tersebut ikut dalam konflik bukan hanya demi mempertahankan kerjasama antar
negaranya dengan negara yang berperang, tetapi juga mengambil keuntungan dari
perang tersebut, seperti lahan kekuasaan baru, sumber daya baru, dan juga
kejayaan yang akan dirasakannya apabila negara tersebut memenangkan perang.
Akan tetapi, pernahkan mendengar
kalau perang dilakukan untuk mengontrol populasi suatu penduduk ?, apabila
belum tidak apa, penulis juga baru mendengan tujuan perang demikian. Namun, ada
alasan logis untuk tujuan tersebut, yang didukung juga dengan budaya dan
lingkungan dari penduduk tersebut. Dalam buku ini, dijelaskan bagaimana suku
Maring berperang dengan suku lainnya di New Guinea. Perang dimulai setelah
upacara persembahan kepada para leluhur, dengan makan besar yang memiliki menu
utama yaitu daging babi dengan jumblah yang besar. Setelah upacara tersebut,
perang dimulai, dan perang dihentikan setelah banyaknya orang yang gugur. Saat
perang ini dihentikan, suku tersebut melakukan penanaman Rumbim, sebagai
simbol gencatan senjata. Setelah rumbim cukup besar, babi yang di pelihara
cukup banyak, rumbim dicabut dan upacara akan dilakukan kembali. Semua hal
tersebut dilakukan seperti siklus, upacara – perang – damai – penanaman rumbim
- pencabutan rumbim.
Akan tetapi, darimanakah kontrol
populasi ini dilakukan ?
Untuk memenuhi jumblah babi untuk upacara tersebut, suku Maring
memerlukan banyak babi untuk dipelihara, jumblah babi yang dipelihara oleh satu
rumah tangga adalah 6 babi, yang diurus oleh perempuan. Selain mengurus babi,
prempuan tersebut perlu juga mengurus anak mereka dan juga mengurus kebun untuk
kebutuhan sehari – hari suami, anak, dan juga babi – babi yang dipelihara
dirumah. Kontrol populasi pertama dimulai disini, dengan kontrol anak prempuan
yang lahir dalam suku tersebut. Cara suku tersebut mengontrol lahirnya bayi
perempuan adalah dengan membunuh bayi perempuan yang lahir. Cara untuk membunuh
bayi tersebut tidak dengan cara aborsi, karna akan membunuh ibu dari bayi
perempuan tersebut. Untuk memenuhi kontrol tersebut, bayi perempuan langsung
dibunuh saat lahir. Ibunya hidup karna suku tersebut memerlukan anak laki –
laki.
Namun timbul kembali pertanyaan, apabila mengurus babi, mengurus anak,
dan mengurus kebun adalah perempuan, kenapa bayi perempuan yang dibunuh bukan
bayi laki – laki ?, apabila dilihat dari yang penulis jelaskan, laki – laki
dalam suku tersebut tidak berguna selain untuk perang.
Kurangnya bayi perempuan berarti lebihnya bayi laki – laki, menyebabkan
suku tersebut memiliki overpopulasi laki – laki. Anak laki – laki ini nantinya
akan dikirim ke medan perang, yang akan menghasilkan banyaknya laki – laki yang
gugur, menjadikan suku tersebut membutuhkan laki – laki kembali untuk
peperangan.
Semua hal tersebut dilatar belakangi oleh budaya Suku Maring sebagai
pecinta babi. Upacara yang dilakukan tersebut adalah untuk memuja para leluhur
dan juga untuk mendekatkan sekutu dari suku tersebut untuk peperangan. Leluhur
suku Maring sangat menyukai babi, oleh karna itu babi sangat digemari oleh suku
tersebut sebagai hidangan yang menghormati para leluhur. Dengan dibutuhkannya
babi dengan jumblah yang banyak dan juga anak lali – laki untuk perang,
meskipun anak perempuan memiliki peran penting untuk mengurus banyak hal, tetapi
dengan banyaknya yang diurus tersebut, mulai dari babi, anak, dan juga suami
mereka, adanya anak perempuan akan menambah kesulitan untuk mengurus rumah
tangga yang sebagian besar difokuskan untuk babi dan anak laki – laki untuk
berperang. Untuk itu terdapat praktik pembunuhan bayi perempuan, meskipun tidak
setiap bayi perempuan dibunuh. Overpopulasi laki – laki yang terjadi dalam suku
tersebut diselesaikan dengan peperangan yang dilakukan setelah upacara
dilakukan. Peperangan ini tentu akan menghancurkan lahan yang sebelumnya
digunakan untuk perkebunan. Untuk itulah ada penanaman Rumbim, bukan hanya
sebagai simbol, tetapi sebagai tanda apakah lahan yang sebelumnya tandus
setelah peperangan, sudah kembali subur dan cocok untuk dijadikan ladang
perkebunan. Pada fase rumbim ini, perang dihentikan, dan suku – suku yang ada
berfokus pada pengurusan babi dan juga anak mereka. Rumbim ini juga menunjukan
apakah hutan sudah kembali subur kembali dan cocok untuk dijadikan area
perkebunan. Hal yang unik saat perang ini terjadi, adalah suku yang memenangkan
perang tidak akan menduduki daerah yang berhasil dikuasainya, daerah tersebut
dibiarkan kosong meskipun kadang terjadi pembumihangusan daerah tersebut. Tetapi
setelah pembumihangusan tersebut, daerah tersebut tidak ditinggali, hanya
dibiarkan saja, suku yang menang akan berkebun di dekat daerah yang dikuasai
tersebut. Pada saat inilah rumbim ditanam, sebagai simbol dan juga indikasi
kalau lahan yang semula digunakan untuk peperangan, tumbuh kembali hutan. Setelah
rumbim besar, rumbim akan dicabut dan siklus budaya suku Maring akan
berlangsung kembali.
Begitulah perang primitif dibahas pada buku ini. Bukan perang yang
kompleks, bukan perang yang tidak bertujuan juga, tetapi perang ini di dorong
oleh budaya suku Maring itu sendiri. Secara tidak langsung, dengan adanya
perang tersebut, suku Maring sudah menyelesaikan masalah overpopulasi mereka sendiri,
dan juga masalah lahan tandus mereka, dengan menahan perang yang berkepanjangan
dengan penanaman rumbim tersebut.
Komentar
Posting Komentar