Langsung ke konten utama

Resensi Buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir (Bab 3 : Perang Primitif)

         

        Konsepsi yang umum di masyarakat tentang perang adalah hal yang tidak manusiawi, tidak rasional, dan yang menginginkan perang adalah orang yang haus akan darah, haus akan kemenangan, dan haus akan harta yang berlimpah jika memenangkan perang tersebut. Dampak dari perang itu pun tidak dapat dipandang remeh. Mulai dari PTSD (Post-traumatic stress disorder), kehancuran banyak lokasi terjadinya perang, genosida dan pembunuhan secara besar – besaran, serta banyaknya keluarga yang bersedih karna suami atau anaknya terbunuh dalam perang. Akan tetapi, perang juga membawakan dampak positif bagi kehidupan, mulai dari kemajuan teknologi dan alat perang, undang – undang untuk negara yang berperang, seperti larangan untuk melakukan genosida, dan juga prevensi untuk perang selanjutnya.

            Akan tetapi, siapa yang menyangka kalau perang dilakukan dengan tujuan sebagai control populasi dalam suatu peradaban. Dalam buku ini dijelaskan demikian. Namun sebelum memasuki pembahasan, mungkin perlu dketahui terlebih dahulu apa tujuan dan latar belakang untuk suatu peradaban atau negara melaksanakan peperangan. Dalam sejarah, banyak terjadi perang dengan tujuan untuk menaklukkan dan/atau memusnahkan suatu kelompok atau organisasi. Seperti dalam sejarah Islam, Khalifah Abu Bakar memerangi para nabi palsu karna dinilai mencemari Islam dengan membuat – buat ajaran Islam sendiri, bukan dari ajaran Nabi Muhammad. Lalu Khalifah Umar melaksanakan perang untuk menyebarkan ajaran Islam ke banyak daerah di Timur Tengah. Semakin majunya suatu peradaban, perang menjadi semakin kompleks. Seperti yang terjadi pada bangsa Eropa pada akhir abad ke – 19 dan juga awal abad ke – 20. Hal tersebut seperti konflik di Afrika, yang bukan hanya demi kekayaan alam dan koloninya, tetapi juga demi relasi antas bangsa Eropa yang menjadi tujuan perang tersebut. Dengan adanya relasi ini, suatu negara akan memiliki sebagian kekayaan dari negara yang dilakukannya aliansi tersebut. Akan tetapi, aliansi dapat juga menjadi masalah baru, seperti pada Perang Dunia 1, dimana pembunuhan Archduke Franz Ferdinand membuat konflik bukan hanya Serbia dan Austro-Hungaria, tetapi juga negara yang berkerjasama dengan mereka, seperti Inggris, Prancis, Rusia, dan juga Jerman. Negara tersebut ikut dalam konflik bukan hanya demi mempertahankan kerjasama antar negaranya dengan negara yang berperang, tetapi juga mengambil keuntungan dari perang tersebut, seperti lahan kekuasaan baru, sumber daya baru, dan juga kejayaan yang akan dirasakannya apabila negara tersebut memenangkan perang.

            Akan tetapi, pernahkan mendengar kalau perang dilakukan untuk mengontrol populasi suatu penduduk ?, apabila belum tidak apa, penulis juga baru mendengan tujuan perang demikian. Namun, ada alasan logis untuk tujuan tersebut, yang didukung juga dengan budaya dan lingkungan dari penduduk tersebut. Dalam buku ini, dijelaskan bagaimana suku Maring berperang dengan suku lainnya di New Guinea. Perang dimulai setelah upacara persembahan kepada para leluhur, dengan makan besar yang memiliki menu utama yaitu daging babi dengan jumblah yang besar. Setelah upacara tersebut, perang dimulai, dan perang dihentikan setelah banyaknya orang yang gugur. Saat perang ini dihentikan, suku tersebut melakukan penanaman Rumbim, sebagai simbol gencatan senjata. Setelah rumbim cukup besar, babi yang di pelihara cukup banyak, rumbim dicabut dan upacara akan dilakukan kembali. Semua hal tersebut dilakukan seperti siklus, upacara – perang – damai – penanaman rumbim - pencabutan rumbim.

            Akan tetapi, darimanakah kontrol populasi ini dilakukan ?

Untuk memenuhi jumblah babi untuk upacara tersebut, suku Maring memerlukan banyak babi untuk dipelihara, jumblah babi yang dipelihara oleh satu rumah tangga adalah 6 babi, yang diurus oleh perempuan. Selain mengurus babi, prempuan tersebut perlu juga mengurus anak mereka dan juga mengurus kebun untuk kebutuhan sehari – hari suami, anak, dan juga babi – babi yang dipelihara dirumah. Kontrol populasi pertama dimulai disini, dengan kontrol anak prempuan yang lahir dalam suku tersebut. Cara suku tersebut mengontrol lahirnya bayi perempuan adalah dengan membunuh bayi perempuan yang lahir. Cara untuk membunuh bayi tersebut tidak dengan cara aborsi, karna akan membunuh ibu dari bayi perempuan tersebut. Untuk memenuhi kontrol tersebut, bayi perempuan langsung dibunuh saat lahir. Ibunya hidup karna suku tersebut memerlukan anak laki – laki.

Namun timbul kembali pertanyaan, apabila mengurus babi, mengurus anak, dan mengurus kebun adalah perempuan, kenapa bayi perempuan yang dibunuh bukan bayi laki – laki ?, apabila dilihat dari yang penulis jelaskan, laki – laki dalam suku tersebut tidak berguna selain untuk perang.

Kurangnya bayi perempuan berarti lebihnya bayi laki – laki, menyebabkan suku tersebut memiliki overpopulasi laki – laki. Anak laki – laki ini nantinya akan dikirim ke medan perang, yang akan menghasilkan banyaknya laki – laki yang gugur, menjadikan suku tersebut membutuhkan laki – laki kembali untuk peperangan.

Semua hal tersebut dilatar belakangi oleh budaya Suku Maring sebagai pecinta babi. Upacara yang dilakukan tersebut adalah untuk memuja para leluhur dan juga untuk mendekatkan sekutu dari suku tersebut untuk peperangan. Leluhur suku Maring sangat menyukai babi, oleh karna itu babi sangat digemari oleh suku tersebut sebagai hidangan yang menghormati para leluhur. Dengan dibutuhkannya babi dengan jumblah yang banyak dan juga anak lali – laki untuk perang, meskipun anak perempuan memiliki peran penting untuk mengurus banyak hal, tetapi dengan banyaknya yang diurus tersebut, mulai dari babi, anak, dan juga suami mereka, adanya anak perempuan akan menambah kesulitan untuk mengurus rumah tangga yang sebagian besar difokuskan untuk babi dan anak laki – laki untuk berperang. Untuk itu terdapat praktik pembunuhan bayi perempuan, meskipun tidak setiap bayi perempuan dibunuh. Overpopulasi laki – laki yang terjadi dalam suku tersebut diselesaikan dengan peperangan yang dilakukan setelah upacara dilakukan. Peperangan ini tentu akan menghancurkan lahan yang sebelumnya digunakan untuk perkebunan. Untuk itulah ada penanaman Rumbim, bukan hanya sebagai simbol, tetapi sebagai tanda apakah lahan yang sebelumnya tandus setelah peperangan, sudah kembali subur dan cocok untuk dijadikan ladang perkebunan. Pada fase rumbim ini, perang dihentikan, dan suku – suku yang ada berfokus pada pengurusan babi dan juga anak mereka. Rumbim ini juga menunjukan apakah hutan sudah kembali subur kembali dan cocok untuk dijadikan area perkebunan. Hal yang unik saat perang ini terjadi, adalah suku yang memenangkan perang tidak akan menduduki daerah yang berhasil dikuasainya, daerah tersebut dibiarkan kosong meskipun kadang terjadi pembumihangusan daerah tersebut. Tetapi setelah pembumihangusan tersebut, daerah tersebut tidak ditinggali, hanya dibiarkan saja, suku yang menang akan berkebun di dekat daerah yang dikuasai tersebut. Pada saat inilah rumbim ditanam, sebagai simbol dan juga indikasi kalau lahan yang semula digunakan untuk peperangan, tumbuh kembali hutan. Setelah rumbim besar, rumbim akan dicabut dan siklus budaya suku Maring akan berlangsung kembali.

Begitulah perang primitif dibahas pada buku ini. Bukan perang yang kompleks, bukan perang yang tidak bertujuan juga, tetapi perang ini di dorong oleh budaya suku Maring itu sendiri. Secara tidak langsung, dengan adanya perang tersebut, suku Maring sudah menyelesaikan masalah overpopulasi mereka sendiri, dan juga masalah lahan tandus mereka, dengan menahan perang yang berkepanjangan dengan penanaman rumbim tersebut. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kisah dari Area Timur : Shelter 13

   Angin berhembus kencang dari lautan, menerpa pepohonan tidak jauh dari garis pantai selat Mahapralya. Udara dingin menyelimuti hutan yang rindang, dan suasana mencekam datang dari setiap rintikan air hujan yang jatuh. Disana duduk segelintir orang, sedang berkumpul di pemukiman kecil yang mereka dirikan untuk melindungi kelompok mereka dari mala bahaya. Diantaranya adalah Able, seorang pria bertubuh jangkung dan bugar, sedang duduk bersama para orang-orang yang selamat di salah satu gubuk kecil milik mereka. “Able!” panggil salah seorang dari gubuk lainnya.  Able langsung bangun dari duduknya dan pergi ke tempat suara itu berasal.  “Ya ibu, ada apa memanggilku?” “Nak, suplai kita sudah sangat sedikit, aku membutuhkan mu untuk meminta suplai kelompok di sebelah selatan. Kabarnya mereka memiliki banyak suplai untuk diberikan.” “Tapi ibu, bukankah ibu pernah memberitahuku kalau arah selatan sangat berbahaya?” “Kita tidak punya pilihan lain nak, ini adalah harapan terakhir kita.

Kisah dari Area Timur: Jauh dari Timur

“Saat meteorit itu jatuh, bukan hanya daerah tenggara yang terkena dampaknya. Semua belahan dunia mendapatkan sebagian dari kedahsyatan meteorit itu. Daerah yang sebelumnya Cina mendapat dampak terbesarnya, karena meteorit itu jatuh di pegunungan Himalaya. Jepang pun demikian. Bencana yang diberikan oleh meteorit itu kepada “Negeri Matahari Terbit” ini adalah tsunami, empat tsunami secara bersamaan satu hari setelah meteorit itu jatuh. Bisa terbayangkan suara teriakan, ucapan-ucapan doa kepada dewa, serta keputus asaan yang berseliweran di udara, saat gelombang raksasa itu mendekat. Sangat segikit orang yang selamat. Mereka adalah orang-orang licik yang mengetahui dimana tempat perlindungan untuk tsunami yang dibuat oleh pemerintah beberapa tahun lalu. Namun Tuan Yamazaki berbeda. Ia tidak seperti itu.”  “Ia memberitahu mereka yang berlarian untuk ikut dengannya ke tempat perlindungan. Namun hanya seratus orang yang dapat ia bawa. Tempat perlindungan yang canggih, tetapi memiliki kapas